Menantikan Kepala Daerah Peduli Tuberkulosis
Catatan atas Pelantikan 11 Kepala Daerah se-Sulsel
Oleh: Wahriyadi
Ketua Dewan Pembina Yayasan Masyarakat Peduli
Tuberkulosis (Yamali TB) Sulsel
Pelantikan kepala daerah hasil
pemilukada tahun 2020 akhirnya dilakukan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Jumat
(26/2/2021). Sah dan hadirnya para kepala daerah baru ini tentu membuat
sejumlah kalangan masyarakat berharap untuk hadirnya perubahan. Salah satu
aspek perubahan itu adalah terwujudnya masyarakat sehat dan peduli kesehatan.
Sebagai bagian dari masyarakat sipil peduli Tuberkulosis, harapan kami untuk para
kepala daerah baru adalah memiliki kepedulian terhadap penanggulangan penyakit
Tuberkulosis (TB). Hingga awal tahun 2021 ini, berdasarkan Global Report yang
dikeluarkan WHO, Indonesia saat ini telah berada pada urutan kedua sebagai
penyumbang tertinggi kasus TB di dunia, hanya kalah dari India.
Secara statistik, 11.993 ribu orang
mati setiap tahun akibat TB. Dari angka penderita TB setiap tahunnya Indonesia
masih mencatat 845.000 penderita TB berdasarkan data tahun 2019 lalu. Angka itu
bahkan diperkirakan meningkat pesat pada tahun 2020 dan 2021 ini seiring adanya
pandemi Covid-19.
Sementara itu dari keberpihakan
pemerintah daerah sejauh ini terhadap masalah kesehatan dianggap masih sangat
minim. Anggaran APBD untuk kesehatan masih jauh dari angka yang di tetapkan WHO
yakni minimum 15 % dari total APBN atau 5 persen dari PDB. Meskipun dalam UU
kesehatan No. 36/2009 (pasal 171) mengamanatkan minimum 5 persen dari APBN dan
10 persen dari APBD provinsi-kabupaten kota namun dalam penerapannya masih jauh
dari yang diharapkan.
Kondisi di daerah khususnya di
Sulawesi Selatan pun masih jauh dari harapan, komitmen pemerintah baik dalam
hal peningkatan angaran maupun membuat regulasi berupa peraturan daerah (Perda)
TB masih minim. Catatan kami dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, yang punya Perda
TB baru ada di 8 daerah diantaranya kabupaten Gowa, Maros, Sinjai, Pinrang,
Wajo, Jeneponto, Soppeng, dan Enrekang. Adapun perbub sebagai turunan dari
Perda baru dilakukan oleh kabupaten Wajo. Artinya ada 16 daerah yang belum
dapat kita ukur keberpihakannya terhadap penaggulangan TB.
Komitmen Komunitas Peduli TB
Namun penanggulangan TB tidak selalu harus
menanti kehadiran kepala daerah baru. Setiap masyarakat bisa berpartisipasi. Berbagai
komunitas dan kader TB selama ini telah hadir aktif memfasilitasi harapan
masyarakat untuk membantu pasien TB, dengan berbagai program seperti penemuan
kasus dengan investigasi kontak dan ketuk pintu, pendampingan pasien TB,
pemberian bantuan nutrisi bagi pasien TB kurang mampu hingga pemberdayaan
ekonomi untuk pasien TB dan keluarganya.
Aksi dan kegiatan ini telah
berlangsung selama bebeberapa tahun. Di era Pandemi Covid-19 ini, komunitas dan
kader TB pun kini tak hanya bergerak untuk penyuluhan TB, tapi juga turut aktif
mengampanyekan 3M (memakai masker, manjaga jarak, mencuci tangan) serta pola hidup
sehat kepada masyarakat untuk mencegah penularan Covid-19.
Setiap masyarakat juga bisa
berpartisipasi dalam kegiatan ini dengan beberapa cara. Pertama, memberikan
informasi kepada kami apabila menemukan orang yang dicurigai TB. Tim relawan
kami akan menindaklanjuti informasi tersebut dengan mendatangi alamat orang
yang diduga terjangkit penyakit tersebut.
Kedua, sebagian besar
penderita TB yang dijaring oleh relawan kami berlatar belakang ekonomi menengah
ke bawah. Kami mengajak partisipasi masyarakat untuk membantu meringankan
penderitaan mereka dengan pemberian gizi tambahan untuk mendukung kesembuhan
pasien. Donasi juga akan digunakan untuk membiayai transportasi pasien TB ke
layanan.
Program ini juga ingin mengetuk pintu
hati para dermawan untuk membantu biaya bedah rumah pasien TB. Banyak rumah
pasien yang mungkin kekurangan ventilasi atau menjadi tempat subur tumbuh
berkembangnya kuman micobacterium tuberculosis. Sehingga
setiap pasien TB berpotensi besar menulari orang yang tinggal serumah
dengannya.
Ketiga, kami mengajak
partisipasi masyarakat untuk menjadi donatur bagi para relawan kami yang selama
ini bertugas untuk menjaring orang yang terduga TB, membujuk dan menemani untuk
melakukan pemeriksaan ke layanan kesehatan, sampai mendampingi pengobatan
pasien hingga sembuh selama kurang lebih 6 bulan untuk kasus TB paru biasa dan
9-24 bulan untuk kasus TB resisten obat (TB-RO). Tentu saja, selain
mengeluarkan tenaga dan waktu, mereka juga masih harus merogoh kantong untuk
biaya transportasi.
Setidaknya, sedikit langkah yang kita lakukan
bisa mengurangi derita pasien TB. Kalau masyarakat saja bisa berdaya berantas
TB, bagaimana dengan kepala daerah baru? Mari kita tunggu.
Komentar
Posting Komentar